Belajar, Sekolah, Sukses, Kaya


Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, ketika baru dilantik Presiden Joko Widodo telah memicu pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara tingkat pendidikan dan kesuksesan. Juga tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan kemampuan di suatu bidang.

Susi adalah orang yang hanya tamat SMP, namun sukses sebagai pengusaha, kaya raya, dan kini menjadi petinggi negara, menyisihkan orang-orang “pintar” yang “seharusnya” lebih layak menempati posisi tersebut.

Kemudian tersulutlah orang untuk mengambil kesimpulan liar, “tak perlu lagi sekolah tinggi, toh tamatan SMP saja bisa jadi menteri”.

Sebenarnya kita tak perlu kaget. Presiden Seoharto juga tak tinggi pendidikan formalnya. Kalau tak salah hanya setingkat SD, ditambah sejumlah pendidikan militer.

Presiden Megawati bukan sarjana, jadi pendidikan formal yang bisa dihitung hanya setingkat SMA. Gus Dur pun sepertinya tak menamatkan sekolah. Jadi, bagaimana sebenarnya arti penting sekolah itu?

Pertama harus saya tegaskan bahwa orang sukses itu adalah orang berilmu. Itu sebuah kepastian. Tidak ada orang yang sukses karena kebetulan, atau keajaiban.

Habibie sukses sebagai ahli rancang bangun pesawat terbang, karena dia punya ilmu tentangnya. Rudi Chaerudin sukses sebagai chef, karena ia punya ilmu tata boga. Rudy Hartono punya ilmu tentang bulu tangkis. Rudi Hadisuwarno adalah orang berilmu dalam hal tata rias rambut.

Bagaimana mendapatkan ilmu? Ilmu bisa didapatkan dari mana saja. Kita bisa mendapat ilmu dari orang lain yang telah lebih dahulu tahu. Sekolah adalah bentuk formal dari proses mendapatkan ilmu dari orang lain.

Pengetahuan yang diajarkan di sekolah adalah kumpulan pengetahuan yang diperoleh oleh ratusan bahkan ribuan orang selama berabad-abad, yang dirangkum secara terstruktur, kemudian diajarkan.

Pengetahuan yang diajarkan di sekolah sifatnya dasar dan umum. Sekolah kejuruan mengajarkan pengetahuan yang sifatnya agak lebih khusus.

Di jenjang universitas, orang belajar tentang hal-hal yang lebih khusus. Untuk tujuan itu universitas dibagi menjadi fakultas dan jurusan. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, orang akan belajar tentang suatu bidang yang sempit tapi mendalam.

Sekolah formal bukan satu-satunya jalan untuk mendapatkan ilmu. Orang bisa belajar langsung kepada seseorang yang ahli. Keahlian di bidang olah raga, misalnya, banyak yang diperoleh orang melalui cara ini. Demikian pula keahlian memasak, seni, serta agama. Tentu saja sekolah formal di bidang-bidang tersebut juga ada.

Cara lain untuk mendapat ilmu adalah dengan meramunya dari pengalaman kita sendiri. Susi dan Soeharto adalah contoh orang berilmu yang mendapatkan ilmunya dari pengalaman di lapangan.

Ilmu yang diperoleh dengan cara ini kadang kala bisa mengalahkan ilmu yang diperoleh orang melalui jalur formal, melampaui kemampuan seorang doktor sekalipun.

Kita kembali ke pertanyaan, untuk apa sekolah? Sekolah adalah cara yang umum untuk mendapatkan ilmu. Umum artinya banyak orang melakukannya, dan banyak yang berhasil dengan cara itu.

Namun sekolah bukan satu-satunya cara. Ada cara lain yang bisa ditempuh, namun hal itu tidak umum. Tinggal tergantung pada kita, mau menempuh jalur yang umum atau tidak.

Menempuh jalur umum artinya berjalan bersama orang-orang lain. Sedangkan yang tidak sekolah artinya menempuh jalan yang  disukai.

Tapi ingat, menempuh jalan sendiri dalam belajar adalah hal yang berbeda dengan lari dari pelajaran. Banyak orang yang berhenti sekolah bukan untuk mencari ilmu dengan jalan sendiri, tapi sekedar lari dari pelajaran.

Ada beberapa bidang yang mengharuskan seseorang belajar di sekolah formal. Dokter, pengacara, pilot, ilmuwan, akuntan, polisi, tentara, dan lain-lain adalah contohnya. Tanpa ijazah formal mustahil untuk memasuki bidang tersebut.

Jadi, mau sekolah atau tidak adalah juga soal pilihan berdasarkan jalan profesi yang hendak ditempuh oleh seseorang.

Jadi, bila kita tegaskan, untuk apa sekolah? Pertama, untuk mendapatkan ilmu melalui jalur yang umum, jalur yang ditempuh oleh banyak orang. Kedua, untuk mendapat ilmu sebagai bekal untuk menekuni profesi tertentu.

Di luar dua alasan itu, orang tak perlu sekolah. Jadi sukses tidak mutlak mengharuskan sekolah (tinggi) sebagai syaratnya. Hanya saja kebanyakan orang sukses setelah melalui seperangkat proses pendidikan formal melalui sekolah.

Hal terakhir yang ingin saya tekankan bahwa sukses tidak sama dengan kaya. Tidak semua orang sukses itu kaya. Kaya bukanlah ukuran kesuksesan. Kaya hanya efek samping dari kesuksesan.

Sukses bagi saya adalah seseorang yang menjalani hidup pada suatu bidang keahlian, ia menikmati jalan itu, dan orang-orang di sekitarnya mendapat manfaat dari apa yang ia kerjakan.

Banyak orang yang menjalani hidup pada tingkat ini, tapi tidak kaya. Sebagai contoh, saya punya kenalan seorang wartawan yang sangat dihormati baik di kalangan profesi wartawan maupun di luar lingkungan itu, tapi ia sama sekali bukan orang yang kaya harta.

Sebaliknya kita mengenal para penjarah uang negara yang kaya raya, tentu kita tak akan menyebut mereka sebagai orang sukses.

Satu hal lagi. Sukses bukanlah terminal akhir. Sukses adalah perjalanan melalui berbagai terminal.

Orang sukses menikmati perjalanan dari satu terminal ke terminal lain. Termasuk dalam perjalanan itu adalah keadaan jatuh dan bangun, menanjak dan menurun.

Orang yang memaknai sukses dengan ukuran pencapaian di titik cemerlang belaka adalah orang yang memaknai sukses secara dangkal.

tentang penulis :
Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta..


2 responses to “Belajar, Sekolah, Sukses, Kaya”

Leave a Reply