Tersesat di Jalan yang Lurus


Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Selama enam tahun lebih karir saya di perusahaan manufaktur, banyak yang bertanya: “Kok doktor ilmu Fisika mengurusi pabrik?” Pertanyaan-pertanyaan senada, dengan kosa kata yang hampir sama, namun memiliki kandungan makna yang berbeda.

Ada yang bertanya dengan ejekan, “Sudah jauh-jauh belajar fisika sampai jadi doktor, lulusan luar negeri pula, kok mau-maunya mengurusi urusan pabrik, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmunya. Tidak punya pilihan lainkah?”

Ada pula yang ingin tahu, bagaimana mungkin seseorang bisa menangani urusan yang jauh dari latar belakang pendidikannya.

Ada pula yang menggugat, “Kenapa keluar dari jalur fisika? Apa tidak sayang dengan ilmunya?”

Sebenarnya bukan saya sendiri yang “pindah jalur” atau bekerja tidak sesuai dengan bidang pendidikan saya. Sahabat saya Nukman Luthfie adalah pencipta istilah yang saya jadikan judul tulisan ini, istilah yang dia pakai untuk menyebut orang yang pindah jalur.

Dia lulusan Jurusan Teknik Nuklir UGM, memulai karir sebagai wartawan majalah ekonomi SWA, lalu ikut mendirikan detik dot com, memulai bisnis konsultasi internet marketing Virtual Consulting, dan berbagai jenis perusahaan lain. Dalam kesehariannya publik mengenal dia sebagai pakar media sosial.

Tentu saja ada banyak orang lain yang demikian. Para manager di perusahaan besar di Toyota, misalnya, ternyata banyak lulusan IPB. Dan sangat banyak lulusan IPB yang bekerja di berbagai bidang, sehingga sering singkatan IPB diplesetkan jadi Institut Pleksibel Banget.

Hal yang paling menarik yang juga saya temukan dalam karir saya adalah bahwa salah satu engineer Jepang yang pernah jadi General Manager di perusahaan saya dulunya adalah lulusan sekolah pariwisata, dan pernah bekerja sebagai pemandu wisata.

Mengapa orang pindah jalur? Ada banyak alasannya. Ada yang sadar bahwa passion atau bakat dia sebenarnya tidak di bidang studi yang ia tekuni setelah ia terlanjur masuk kuliah, atau bahkan setelah ia lulus.

Ia bertemu dengan passion, sadar akan bakat dia, tapi dia tak bisa mengubah tempat belajarnya karena berbagai alasan. Maka ia belajar secara mandiri ketrampilan atau ilmu yang ia sukai, dan kemudian berkarir di bidang itu.

Ada pula yang memulai karir di suatu bidang karena ia tak menemukan pekerjaan yang cocok dengan ilmu yang dia pelajari, kemudian menekuni bidang baru itu lalu sukses. Atau, ada pula yang bosan dengan bidang yang ia pelajari, lalu pindah mencari tantangan lain.

Tapi kenapa bisa? Bagaimana mungkin seorang ilmuwan fisika kemudian belajar manajemen, keuangan, HRD, atau logistik? Nah, bagian ini sangat penting.

Saya sering berpesan pada mahasiswa yang saya kuliahi, bahwa kompetensi paling dasar bagi seorang lulusan perguruan tinggi adalah kemampuan mereka untuk belajar secara mandiri.

Mereka harus tahu apa yang dibutuhkan untuk dipelajari, serta bagaimana cara mempelajarinya. Berbagai perkuliahan, praktikum, tugas-tugas, sampai tugas akhir, adalah serangkaian kegiatan untuk membina mahasiswa agar mencapai kompetensi tadi.

Artinya, bila kompetensi itu tercapai, pada dasarnya seorang lulusan perguruan tinggi mampu belajar tentang apa saja secara mandiri.

Tidakkah sayang dengan ilmu yang selama ini dipelajari? Kalau ditanya seperti itu saya akan balik bertanya, “Kenapa sayang? Apakah dengan belajar ilmu baru, ilmu lama kita jadi hilang?”

Tidak. Ilmu kita tidak hilang. Ilmu itu selalu siap kita pakai lagi kalau kita membutuhkannya lagi. Atau bahkan kita mungkin sering memakainya tanpa kita sadari, karena ia sudah menjadi bagian dari cara berpikir kita.

Yang mungkin lebih dikhawatirkan orang adalah soal gengsi. Masak seorang doktor fisika kok mengurusi hal-hal yang sepele. Untungnya saya tidak punya gengsi itu. Bagi saya belajar dan bekerja itu mulia, apapun bidang yang saya tekuni.

Ada orang yang enggan berpindah jalur. Itu pilihan pribadi setiap individu. Tapi penting untuk bertanya, apa alasannya? Pindah jalur bagi saya adalah sarana untuk belajar sesuatu yang baru. Itu akan memperluas cakupan bidang yang yang saya pelajari.

Apa itu berarti yang tidak pindah jalur tidak (bisa) belajar? Bukan begitu. Pindah jalur memungkinkan orang memperluas cakupan belajar, sedangkan fokus pada suatu bidang membuat orang bisa belajar lebih mendalam.

Jadi, kita berhadapan dengan dua pilihan yang baik: going wideratau going deeper. Pilihan ada di tangan Anda.

Yang tidak baik adalah orang yang enggan pindah jalur karena ia sebenarnya enggan belajar sesuatu yang baru, atau lebih buruk lagi, dia tak mampu belajar sesuatu yang baru.

Saya bahkan baru menyadari belakangan bagaimana pilihan saya untuk bekerja mengelola pabrik setelah sekian lama bekerja di bidang riset ternyata sangat penting bagi perjalanan karir saya selanjutnya.

Hal itu baru saya sadari saat saya diwawancara untuk pekerjaan baru, yang kini saya tekuni. Saya bekerja sebagai business developer sebuah perusahaan produsen bahan maju (advanced materials).

Tugas saya mengaji berbagai aspek untuk membuka unit bisnis baru, meliputi kajian regulasi, biaya, sumber daya, dan sebagainya. Di satu sisi saya harus paham teknologinya, di sisi lain saya harus paham aspek bisnisnya.

Saat itu saya baru sadar bahwa saya punya dua ketrampilan utama yang sangat jarang dimiliki orang, yaitu kemampuan riset di bidang fisika/kimia material, dan kemampuan mengelola perusahaan.

Tentu saja masih ditambah dengan ketrampilan lain yaitu bahasa Jepang dan Inggris serta ketrampilan menulis dan berbicara di depan publik. Dalam situasi itu saya sangat bersyukur bahwa saya dulu pernah pindah jalur.

Jadi, pindah jalur bukan berarti kita terbuang dari bidang kita. Kita hanya membuka diri untuk berkelana ke berbagai bidang.

tentang penulis :
Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta..


Leave a Reply